SAKSI MATA -Cerpen Seno Gumira
Ajidarma- (Ambiguitas Tokoh Pak Hakim Versus Kesempurnaan Diskripsi Konspirasi
Dunia Peradilan)
“Saksi
mata itu datang tanpa mata.....”
Kalimat
pembuka cerpen ini berhasil memancing rasa ingin tahu untuk membaca lebih jauh.
“Syaraf lucu” beberapa orang berhasil tergelitik, katanya saksi mata, kok buta,
lalu mata yang mana yang menyaksikan peristiwa yang akan disidangkan?Beberapa
orang terkekeh-kekeh ketika saksi mata tanpa mata itu di-interogasi Pak Hakim.
“Saudara
Saksi Mata.”
“Saya
Pak.”
“Di
manakah mata
saudara?”
“Diambil
orang Pak.”
“Diambil?”
“Saya
Pak.”
“Maksudnya
dioperasi?”
“Bukan
Pak, diambil pakai
sendok.”
“Haa?
Pakai sendok?
Kenapa?”
“Saya
tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.”
(masakan khas Surakarta sop tulang belulang kambing-red)
Lumayan
panjang dialog yang membawa pembaca mengenali peristiwa yang akan diungkap di
persidangan, namun sebuah kejutan hadir dalam dialog berikut:
“Ngomong-ngomong,
kenapa saudara diam saja ketika mata saudara diambil dengan
sendok?”
“Mereka
berlima Pak.”
“Saudara
kan bisa teriak-teriak atau melempar barang apa saja di dekat saudara atau
ngapain kek supaya tetangga mendengar dan menolong saudara. Rumah saudara kan
di gang kumuh, orang berbisik di sebelah rumah saja kedengaran, tapi kenapa
saudara diam saja?”
“Habis
terjadinya dalam mimpi sih Pak.”
Kali
ini bukan cuma pembaca yang terkekeh-kekeh, orang-orang yang hadir di
persidangan pun diceritakan dalam cerpen ini, mereka semua tertawa, kecuali Pak
Hakim. Beliau mengetuk kan palu dengan marah. Meskipun sama-sama manusia, Pak
Hakim sedikit berbeda dari kebanyakan kita yang boleh tertawa di sembarang
suasana. Ini pengadilan, terhormat, dan wajib bagi seorang hakim untuk menjaga
wibawa hukum.
Seno
Gumira Ajidarma (SGA)
-sang penulis- membawa kita menikmati panggung persidangan sambil melemparkan
beberapa isyarat kritis. Sebagai catatan cerpen Saksi Mata ini dimuat
harian Suara Pembaharuan, 1992. Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Jan
Lingard, dimuat kembali sebagai “Eyewitness” dalam The Weekend
Review, suplemen harian The Sydney Morning Herald
(Sydney, 16-17 Desember 1995). Diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Cara Ella
Bouwman, dimuat kembali sebagai “De Ooggetuige”dalam Een Bron die Nooit Dooft:
Stemmen van Tegenspraak in Proza en Poezie uit Indonesia (Amnesty
International, 1997). Diterjemahkan ke bahasa Jepang oleh Oshikawa Noriaki,
dimuat kembali sebagai “Shounin” dalam majalah sastra Gunzou (1997)